IBUKU INSPIRASIKU Oleh Siti IsnainiMurdiningrum, S. Pd, M. Pd.
Pelan pelan kuturunkan kaki dari tempat tidurku.Kunyalakan lampu oblik dan kutaruh di atas meja makan yang juga sekaligus berfungsi sebagai meja belajarku. Kuambil buku mata pelajaran yang akan kupelajari besok di sekolah. Tiba tiba ibu sudah ada di belakangku dengan lampu teplok di tangannya, beliau mengganti lampu oblikku dengan lampu teplok, supaya lebih nyaman belajarnya, begitu kata beliau. Setelah itu ibu melaksanakan rutinitas sholat tahajud. Pemandangan seperti ini hampir setiap malam kulihat. Biasanya setelah sholat tahajud ibu langsung ke dapur untuk bergelut dengan dunia perkerupukan, kalau tidak menggoreng kerupuk ya membuat adonan kerupuk atau mengiris kerupuk yang masih mentah sambil disambi masak. Tidak jarang ibu membangunkan kami di malam hari untuk sekedar membantu membungkus kerupuk karena ada banyak pesanan yang harus diambil di pagi hari. Sehari bisa menghabiskan tepung 1 kwintal, dan itu semua ibu kerjakan sendiri, dari membuat adonan, mengukus, mengiris serta menggorengnya. Untuk mengiris kadang kakak perempuanku sering membantu ibu sepulang dari sekolah, sedangkan untuk menjemur kerupuk yang masih basah dan membungkus kerupuk yang sudah digoreng biasanya dibantu oleh anak-anak tetangga sepulang sekolah. Mereka mendapatkan upah yang sudah disepakati serta bisa makan krupuk kriwilan secara gratis.Ibuku punya usaha kerupuk yang notabene hasilnya bisa digunakan untuk membantu perekonomian keluarga, untuk menyekolahkan putra-putrinya yang semuanya berjumlah 8 orang. Ayahku bekerja sebagai PNS, lebih tepatnya bekerja sebagai kepala KUA di sebuah kecamatan di kabupaten Jember. Menjadi PNS pada zaman dahulu gajinya kecil, untuk bisa memenuhi kebutuhan dapur setiap hari saja sudah sangat bersyukur, jadi mau tidak mau ibu harus membantu perekonomian keluarga dengan membuat kerupuk, ternak ayam dan membuka toko sembako kecil-kecilan.
Ibu adalah sosok wanita pekerja keras yang sangat tangguh, tidak pernah kulihat ibuku duduk santai atau tiduran. Meski hanya lulusan Sekolah Dasar, tetapi semangat untuk menyekolahkan putra-putrinya sangat luar biasa. Beliau selalu berujar: " Anak-anakku ojo nganti kaya aku,masio wadon, kabeh kudu sekolah sing duwur, kudu dadi pegawe, ben aji neng keluargane wong lanang(Anak-anakku jangan sampai seperti saya, meskipun perempuan, semua harus sekolah yang tinggi, harus menjadi pegawai, supaya berwibawa dihadapan keluarga suami)."
Ayahku memang terlahir dari keluarga yang kaya-raya. Banyak dari saudara bapakku yang menjadi saudagar dan pejabat negara.Pendidikan mereka tinggi semua, mayoritas lulusan UGM. Sedangkan bapak lulusan Pondok Pesantren Gontor. Sebenarnya bapak juga sempat mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi. Tetapi karena masih zaman penjajahan, ketika bapak masih kuliah, bapak ikut memanggul senjata berjuang melawan penjajah. Rumah mbah kakung dibom oleh tentara sekutu pada Agresi Militer ke 2, karena menjadi markas pejuang, dan menjadi tempat penyimpanan senjata. Teringat punya saudara di Wuluhan, Jember, bapak akhirnya melarikan diri ke Jember.
Di Jember bapak mengajar di pesantren Kyai Hasby Gumelar, seorang Kyai yang berasal dari Solo. Pesantren tersebut terletak di barat sungai.Kyai Hasby mempunyai seorang anak perempuan yang manis berambut panjang yaitu ibu.Karena letak pesantren berada di pinggir sungai, maka bapak sering mandi di sungai tersebut, hanya sekedar ingin melihat wajah ibu.Setiap pagi hari mbah putri selalu menyuruh ibu belanja di timur sungai. Karena sudah mengetahui kebiasaan ibu, maka setiap ibu mau belanja, bapak mandi di sungai , kalau ibu sudah mendekati sungai, bapak langsung selulup(menyelam di dalam air), dan ketika ibu sudah di tengah jembatan, bapak langsung muncul, sehingga membuat ibu malu. Itu yang sering diceritakan ibu padaku.
Secara ekonomi bapakku paling rendah dibandingkan dengan saudara-saudaranya.Mungkin itu yang memacu ibuku untuk bekerja keras, supaya anak anaknya tidak bernasib sama seperti beliau.Masih kuingat dengan jelas, saat saya masih SMP, mbah kakung sakit, saya diajak bapak ke Ngawi menyusul ibu yang sudah berangkat lebih dahulu.Disana sudah berkumpul saudara- saudara bapakku yang lain. Mereka berdomisili di Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Solo. Sedangkan 3 bulikku yang lain tinggal satu kecamatan dengan mbah Kakung. Bapak anak sulung di keluarganya. Kulihat ibu sibuk di dapur, mencuci dan memasak bersama pembantu, sedangkan saudara-saudara yang lain duduk-duduk di ruang keluarga . Mungkin untuk berkomunikasi dengan saudara yang lain ibu sungkan, karena pendidikannya rendah, tidak level istilah zaman sekarang, jadi beliau memilih untuk menyibukkan diri dengan pembantu di dapur. Kasihan sekali aku melihat ibu.
Ibu adalah sosok yang sangat dermawan.Beliau sangat disegani oleh para tetangganya. Masih segar dalam ingatanku, setiap ada penjual gedek(anyaman yang terbuat dari bilah-bilah bambu untuk dinding rumah dan sebagainya) dan penjual kayu bakar yang lewat di depan rumah, beliau akan memanggil dan menyuruh mereka untuk singgah, lalu beliau hidangkan secangkir kopi dan makan seadanya. Kalau ibu punya uang, akan dibelinya dagangannya.
Ibu menjadi tumpuan para tetangga yang kurang mampu untuk meminjam uang, beras, dan lain sebagainya. Kalaupun tidak ada uang untuk diberikan, cincin emaspun beliu relakan untuk dijual, padahal ibu tahu orang tersebut tidak akan mampu untuk membayar hutangnya, tetapi beliau tetap merelakannya. Di desaku ada kampung yang dihuni oleh masyarakat kurang mampu, yang konon mereka adalah para pengungsi dari Madura, namanya kampung Jatian. Ibu menjadi tempat mereka untuk berhutang. Mbah Sarah adalah salah satu orang yang sering berhutang pada ibu. Waktu aku masih kecil, dia menjadi pembantu ibu yang bertugas untuk momong aku, begitu ceritanya. Pernah suatu hari dia akan pinjam uang pada ibu, tetapi ibu tidak punya uang. Akhirnya ibu relakan cincin emas beliau untuk dijual, dan sampai sekarang cincin itu tidak pernah kembali.
Rumah ibu selalu menjadi tempat yang nyaman bagi kerabat yang rumahnya jauh untuk menginap, baik kerabat dari ibu maupun kerabat dari bapak.Tidak jarang mereka menginap sampai berbulan-bulan. Padahal ada saudara ibu yang lain yang rumahnya tidak jauh dari rumah ibu.Para tamu selalu betah berlama-lama tinggal di rumah, karena sikap ibu yang selalu baik kepada para tamu. Bude dari ibu yang rumahnya Pare, Kediri, kalau menginap sampai berhari- hari, bahkan pernah ada kerabat bapak dari Ngawi tinggal di rumah sampai berbulan-bulan. Sering juga ada kerabat yang kurang mampu yang tinggal di rumah untuk disekolahkan, ngenger istilahnya.
Pada tanggal 4 Januari 1984 ibu meninggal dunia. Beliau meninggal pada usia 50 tahun. Saat itu saya masih kelas 1 Sekolah Menengah Atas. Kepergiannya ditangisi oleh banyak orang. Mereka mengatakan: "Tidak ada lagi orang yang akan memberikan pinjaman". Budeku yang dari Kediri datang dan berkata: " Wis ora ana maneh sing nyangoni aku, dadi aku ora iso lungo nang Jember maneh( sudah tidak ada lagi yang memberi uang kepadaku, jadi aku tidak bisa pergi ke jember lagi)". Sampai sekarang bude tidak pernah datang lagi, entah bagaimana khabarnya, saya tidak tahu.Sepeninggal ibu jarang sekali kerabat yang menginap di rumah. Suasana rumah menjadi berbeda 180 derajat, sepi dan jarang sekali kerabat berkunjung, baik kerabat bapak maupun kerabat ibu.
Komentar
Posting Komentar